Intrik & Politik Wali Songo


Menyadur dari analisa pakar sejarah UGM yang merupakan seorang pemuda asli Pati (tepatnya berasal dari Kec. Tlogowungu),
ada sedikit sajian mengenai perilaku poLitik ketika para wali (penyebar agama Islam di Jawa) yang erat kaitannya dengan daerah-daerah di Karesidenan Pati dengan daerah-daerah lain di penjuru Jawa bahkan Indonesia. Ujungnya, betapa sangat berpengaruhnya wilayah Karesidenan Pati kala itu dalam percaturan poLitik bangsa ini. Monggo disimak ulasan lengkap beliau.

" Walisongo atau wali sembilan adalah sebutan untuk sebuah majelis yang terdiri dari sembilan orang (ada yang mengatakan lebih dari itu) yang mempunyai fungsi utama sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa. Dalam mengembangkan agama Islam di Jawa

Dan dalam penyebaran agama ini tidak jarang antara pembesar-pembesar agama ini memiliki perbedaan dalam cara penyebaran dan perbedaan itu terlihat saat menyentuh bidang politik. Menengok konflik Masa Lalu Biasanya, konflik yang terjadi di kalangan ulama -terutama ulama jaman dahulu, lebih banyak diakibatkan karena persoalan (rebutan pengaruh) politik. Tidak hanya terjadi pada era kiai-ulama masa kini, tapi sejak jaman Wali Songo-pun, konflik seperti itu pernah terjadi. Bahkan, sejarah Islam telah mencatat bahwa jenazah Muhammad Rasulullah SAW baru dimakamkan tiga hari setelah wafatnya, dikarenakan para sahabat justru sibuk rebutan soal posisi khalifah pengganti Nabi (Tarikh Ibnu Ishak, ta’liq Muhammad Hamidi).

Yang pernah tercatat dan teranalisis dalam tinta sejarah mengenai permainan Politik para Wali ini adalah :

1. Tatanan Negara Islam di Demak Bintoro
Dalam Kesultanan Demak Bintara Konstitusi itu adalah kitab Salokantara dan Jugul Mudayang yang disusun oleh Sayid Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus yang dibantu oleh Sunan Ampel dan Sunan Giri yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits. Kitab hukum tersebut meliputi perkara perdata, mu’amalah, jinayat, siyasah, imamah, qisash, ta’zir, jihad. Hudud, perburuhan, perbudakan, makanan, bid’ah dll yang meliputi seluruh aspek kehidupan yang menjadi system baru di Jawa dimana tidak pernah ada di Kerajaan manapun sebelum masuknya Islam di Nusantara yang didirikan berdasarkan konstitusi.[1]

Pola hubungan pusat daerah ini juga diakui oleh Snouck Hourgroundje yang mengatakan bahwa rakyat kebanyakan pada umumnya di Nusantara melihat Stambol (Istanbul), kedudukan Khilafah Utsmaniyah masih sebagaimana kedudukan Raja semua orang Muslim dan tetap dipandang sebagai Raja dan segala Raja di dunia. Mereka (rakyat) juga beranggapan “Sultan2 yang belum beragama” mesti tunduk dan memberikan penghormatan kepada Khalifah. Dan didalam birokrasi di Demak sendiri, jabatan tertinggi dipegang oleh Sultan, tetapi segala keputusan Sultan sendiri haruslah mendapt restu dari Giri Kedaton yang dipimpin oleh Sunan Giri dan diketahui oleh Wali songo.selain itu beberapa wWali juga mengambil peranan penting dalam struktur Pemerintahan di kerajaan Demak,seperti SUnan Bonang yang pernah menjadi pemimpin tamtama yang kemudia menjadi penasehat Sultan Demak, Sunan Kudus dan Sunan Giri yang tata pemerintahan dan ketatanegaraan, serta Sunan Kudus sendiri kemudian menjadi senopati dan Tukang algojo dikerajaan Demak. SUnan Kalijaga juga berperan menjadi penasehat.

2. Perebutan hegemoni antara Pendukung Walisongo dan Syekh Siti Jenar
Dari buku serat Dharmogandhultertulis:
Pada waktu Siti Jenar dihukum mati darahnya berwarna putih dan berbau harum. terdengar musik dari angkasa .. namun atas kelicikan walisongo, mayat Siti Jenar diganti dengan mayat anjing kemudian dipertontonkan di depan umum…………….Aliran Siti Jenar inilah yang kemudian berkembang menjadi aliran kejawen di Jawa.

Di era Wali Songo -kelompok ulama yang “diklaim” oleh NU sebagai nenek-moyangnya dalam perihal berdakwah dan ajarannya, sejarah telah mencatat pula terjadinya konflik yang “fenomenal” antara Wali Songo (yang mementingkan syari’at) dengan kelompok Syekh Siti Jenar (yang mengutamakan hakekat). Konflik itu berakhir dengan fatwa hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dan pengikutnya.

3. Polaritas Politik dan Pengaruh didalam tubuh Wali Songo
Sejarah juga mencatat bahwa dalam persoalan politik, Wali Songo yang oleh masyarakat dikenal sebagai kelompok ulama penyebar agama Islam di Nusantara yang cukup solid dalam berdakwah itu, Ternyata juga bisa terpolarisasi ke dalam tiga kutub politik; Giri Kedaton (Sunan Giri, di Gresik), Sunan Kalijaga (Adilangu, Demak) dan Sunan Kudus (Kudus).
Lagi-lagi, konflik itu diakibatkan karena persoalan politik. Perseteruan yang terjadi antara para wali itu bisa terjadi, bermula setelah Sultan Trenggono (raja ke-2 Demak) wafat. Giri Kedaton yang beraliran “Islam mutihan” (lebih mengutamakan tauhid) mendukung Sunan Prawata dengan pertimbangan ke-’alimannya. Sementara Sunan Kudus mendukung Aryo Penangsang karena dia merupakan pewaris sah (putra tertua) dari Pangeran Sekar Seda Lepen (kakak Trenggono) yang telah dibunuh oleh Prawata (anak Trenggono). Sedangkan Sunan Kalijaga (aliran tasawuf, abangan) mendukung Joko Tingkir (Hadiwijaya), dengan pertimbangan ia akan mampu memunculkan sebuah kerajaan kebangsaan

Sejarah juga mencatat, konflik para wali itu “lebih seru” bila dibandingkan dengan konflik ulama sekarang, karena pertikaian mereka sangat syarat dengan intrik politik yang kotor, seperti menjurus pada pembunuhan terhadap lawan politik. Penyebabnya tidak semata karena persoalan politik saja, tapi di sana juga ada hal-hal lain seperti: pergesekan pengaruh ideologi, hegemoni aliran oleh para wali, pengkhianatan murid terhadap guru, dendam guru terhadap murid, dan sebagainya.

Begitupun ketika pusat pemerintahan pindah dari Pajang ke Mataram. Sunan Kudus “berbelok arah” mendukung kubu Demak (Aria Pangiri, putra Sunan Prawata [kubu yang sebelumnya dilenyapkan Arya Penangsang, jagoan Sunan Kudus]) untuk menguasai Pajang, mengusir Pangeran Benawa (putra Sultan Hadiwijaya). Sementara Sunan Kalijaga mendukung keturunan Pamanahan (Ki Gede Mataram) untuk mendirikan kerajaan baru yang bernama Mataram.
Tidak hanya berhenti di situ. Konflik politik para wali itu terus berlanjut hingga akhir hayat mereka. Hingga anak cucu generasi mereka selanjutnya. Dan lebih memprihatinkan lagi, ketika Sunan Amangkurat I (Raja Mataram ke-5, putra Sultan Agung Hanyokrokusumo) membantai secara keji 6000 ulama ahlussunnah wal jama’ah di alun-alun Mataram, dengan alasan “mengganggu keamanan negara”. Ini adalah sebagai bukti adanya imbas yang berkepanjangan dari perseteruan ideologi para wali di era sebelumnya -di samping juga karena faktor politik yang lain. Dan, gesekan-gesekan aliran keagamaan (ideologi) seperti itu, di kemudian hari terus berlanjut, seolah-olah telah menjadi sebuah “warisan” masa kini.

Daftar Pustaka
Graaf, H.J.de. (1985). Awal Kebangkitan Mataram. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Olthof. (2008).Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
Feby Nurhayati. (2007). Walisongo, Profil dan Warisannya. Yogyakarta: Pustaka Timur

Komentar

Hugo mengatakan…
dikarenakan para sahabat justru sibuk rebutan soal posisi khalifah pengganti Nabi, sumbernya darimana?justru para sahabat bermusyawarah untuk memilih pemimpin umat setelah rasulullah wafat bukan memperebutkan posisi khalifah, kalau mereka memperebutkan kenapa juga Abu bakar Ra harus berpidato
Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik diantara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. ‘Orang lemah’ di antara kalian aku pandang kuat posisinya di sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. ‘Orang kuat’ di antara kalian aku pandang lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya. Janganlah diantara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan Shaat semoga Allah Subhanahu Wata’ala melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua.”

Postingan populer dari blog ini

Politik Ken Dedes : Antara Ambisi dan Wahyu

Musnahnya Wahhabi dan Bangkitnya Kembali Menjadi Kerajaan Arab Saudi

15 Kewajiban Anak Laki-Laki Terhadap Ibunya