N 219 Untuk Indonesia



Mengapa Esther Gayatri Saleh Ngotot Jadi Pilot
Rabu, 16 Agustus 2017 | 12:59 WIB


Pilot Uji PTDI, Esther Gayatri Saleh berpose didepan Pesawat N219 di Hanggar PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat. 23 Desember 2015. Esther merupakan Pilot Uji Perempuan satu-satunya di Asia. TEMPO/Aditya Herlambang Putra.

TEMPO.CO, Bandung -PT Dirgantara Indonesia melakukan uji terbang perdana pesawat N219. Uji terbang yang berlangsung pagi tadi, Rabu, 16 Agustus 2017, dilakukan oleh pilot wanita Esther Gayatri Saleh.
Mengapa Esther Gayatri Saleh Ngotot Jadi Pilot
Rabu, 16 Agustus 2017 | 12:59 WIB
0 KOMENTAR
10003

Pilot Uji PTDI, Esther Gayatri Saleh berpose didepan Pesawat N219 di Hanggar PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat. 23 Desember 2015. Esther merupakan Pilot Uji Perempuan satu-satunya di Asia. TEMPO/Aditya Herlambang Putra.

TEMPO.CO, Bandung -PT Dirgantara Indonesia melakukan uji terbang perdana pesawat N219. Uji terbang yang berlangsung pagi tadi, Rabu, 16 Agustus 2017, dilakukan oleh pilot wanita Esther Gayatri Saleh.

Esther Gayatri Saleh bukan orang baru di dunia uji terbang pesawat. Seperti dikutip dari Koran Tempo, 26 Desember 2015, setengah dari usia perempuan 55 tahun ini dihabiskan menjadi seorang pilot uji di PT Dirgantara Indonesia.

Pada usia 21 tahun, Esther sudah dipercaya menjadi ko-pilot di perusahaan penerbangan pelat merah yang dulu bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) itu. Sukses sebagai ko-pilot, berkat dukungan B.J. Habibie yang saat itu menjabat sebagai orang nomor satu di PT DI, Esther Gayatri Saleh dipercaya menjadi satu-satunya pilot uji perempuan di Indonesia. "Saya sangat bersyukur lahir di pabrik ini," ujar perempuan yang dipercaya PT DI untuk menguji coba terbang pesawat N219 ini.

Hasrat menjadi seorang pilot hadir ketika Esther menjadi wartawan foto cilik asuhan Kementerian Pariwisata, dan bertugas di Istana Negara. Kala itu, ia sering diajak berkeliling Indonesia menggunakan pesawat terbang.

Pada saat itulah panggilan menjadi seorang pilot hinggap di benak Esther. Dulu, ia pernah naik pesawat Cassa ke Long Bawan, Kalimantan Utara. Saat itu, Esther penasaran melihat banyak tombol yang dihadapi pilot. "Kok tombolnya banyak ya, kok pilot tahu ke mana, padahal tidak lihat apa-apa. Saya jadi penasaran," ujarnya.



Baca: Belum Terbang, Pesawat N219 Buatan PT DI Kebanjiran Peminat

Setelah lulus sekolah menengah atas, Esther langsung mencari sekolah penerbangan. Di usianya yang masih 18 tahun, ia terbang ke Negeri Abang Sam untuk mendaftar di sekolah penerbangan Swayer School of Aviation, Phoenix, Amerika Serikat. Dua tahun ia menimba ilmu di sana. "Karena kurang biaya, untuk biaya makan saya sempat menjadi pembantu di sana. Jadi baby sitter hingga jadi laden (pelayan)," kata dia.

Ada cerita menarik di balik kisah ia memilih sekolah di luar negeri. Sebelum bersekolah di Phoenix, ia lebih dulu mendaftar di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Curug, Banten. Karena alasan tinggi badan yang tak memenuhi syarat, Esther ditolak oleh salah satu sekolah penerbangan tertua di Tanah Air itu.

"Pernah daftar ke Curug, tapi mereka mintanya lulusan IPA, sedangkan saya IPS. Tinggi juga enggak masuk karena mereka mintanya 162 (sentimeter), saya 157. Ya sudah, saya daftar ke Amerika," kata Esther.

Di Amerika, ia melanjutkan kisahnya, "Saya dilihat kakinya, sudah satu meter, oke. Kalau di Amerika, kamu kurang lihat (karena kurang tinggi), tambah bantal apa susahnya. Saya pernah nerbangin pesawat diganjal bantal saja."

Selepas lulus dari School of Aviation, Phoenix, Amerika Serikat, kariernya tidak tiba-tiba mulus semulus aspal landasan udara. Ia sempat ditolak mengkonversikan lisensi yang ia raih di Amerika menjadi lisensi Indonesia untuk menjadi syarat seleksi pilot.

Bahkan saat itu ada salah satu pejabat di Kementerian Perhubungan yang merendahkan kemampuannya sebagai seorang pilot. Pejabat yang ia tak mau sebutkan namanya itu mengatakan perempuan tak laik jadi pilot. "Kamu itu perempuan, cocoknya di dapur sajalah," ujar Esther, menirukan ucapan si pejabat.

Tak patah semangat, ia langsung mengejar Menteri Perhubungan saat itu yang dijabat Roesmin Noerjadin, untuk meminta peluang agar bisa diikutkan tes. Akhirnya Menteri Noerjadin mengizinkan Esther ikut tes. "Setelah tes, saya lulus. Saya anggap pengalaman tersebut pemberian Tuhan agar karakter saya terbentuk," kata dia.

Usai menerbangkan pesawat N219, Esther Gayatri Saleh mengaku bangga dan terharu. "Puji Tuhan semunya lancar yang pasti kita harus berbangga bahwa pesawat ini semuanya buatan anak bangsa," kata Esther Gayatri Saleh, seperti dikutip dari Antara, Rabu, 16 Agustus 2017.
Esther Gayatri Saleh bukan orang baru di dunia uji terbang pesawat. Seperti dikutip dari Koran Tempo, 26 Desember 2015, setengah dari usia perempuan 55 tahun ini dihabiskan menjadi seorang pilot uji di PT Dirgantara Indonesia.

Pada usia 21 tahun, Esther sudah dipercaya menjadi ko-pilot di perusahaan penerbangan pelat merah yang dulu bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) itu. Sukses sebagai ko-pilot, berkat dukungan B.J. Habibie yang saat itu menjabat sebagai orang nomor satu di PT DI, Esther Gayatri Saleh dipercaya menjadi satu-satunya pilot uji perempuan di Indonesia. "Saya sangat bersyukur lahir di pabrik ini," ujar perempuan yang dipercaya PT DI untuk menguji coba terbang pesawat N219 ini.

Hasrat menjadi seorang pilot hadir ketika Esther menjadi wartawan foto cilik asuhan Kementerian Pariwisata, dan bertugas di Istana Negara. Kala itu, ia sering diajak berkeliling Indonesia menggunakan pesawat terbang.

Pada saat itulah panggilan menjadi seorang pilot hinggap di benak Esther. Dulu, ia pernah naik pesawat Cassa ke Long Bawan, Kalimantan Utara. Saat itu, Esther penasaran melihat banyak tombol yang dihadapi pilot. "Kok tombolnya banyak ya, kok pilot tahu ke mana, padahal tidak lihat apa-apa. Saya jadi penasaran," ujarnya.



Baca: Belum Terbang, Pesawat N219 Buatan PT DI Kebanjiran Peminat

Setelah lulus sekolah menengah atas, Esther langsung mencari sekolah penerbangan. Di usianya yang masih 18 tahun, ia terbang ke Negeri Abang Sam untuk mendaftar di sekolah penerbangan Swayer School of Aviation, Phoenix, Amerika Serikat. Dua tahun ia menimba ilmu di sana. "Karena kurang biaya, untuk biaya makan saya sempat menjadi pembantu di sana. Jadi baby sitter hingga jadi laden (pelayan)," kata dia.

Ada cerita menarik di balik kisah ia memilih sekolah di luar negeri. Sebelum bersekolah di Phoenix, ia lebih dulu mendaftar di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Curug, Banten. Karena alasan tinggi badan yang tak memenuhi syarat, Esther ditolak oleh salah satu sekolah penerbangan tertua di Tanah Air itu.

"Pernah daftar ke Curug, tapi mereka mintanya lulusan IPA, sedangkan saya IPS. Tinggi juga enggak masuk karena mereka mintanya 162 (sentimeter), saya 157. Ya sudah, saya daftar ke Amerika," kata Esther.

Di Amerika, ia melanjutkan kisahnya, "Saya dilihat kakinya, sudah satu meter, oke. Kalau di Amerika, kamu kurang lihat (karena kurang tinggi), tambah bantal apa susahnya. Saya pernah nerbangin pesawat diganjal bantal saja."

Selepas lulus dari School of Aviation, Phoenix, Amerika Serikat, kariernya tidak tiba-tiba mulus semulus aspal landasan udara. Ia sempat ditolak mengkonversikan lisensi yang ia raih di Amerika menjadi lisensi Indonesia untuk menjadi syarat seleksi pilot.

Bahkan saat itu ada salah satu pejabat di Kementerian Perhubungan yang merendahkan kemampuannya sebagai seorang pilot. Pejabat yang ia tak mau sebutkan namanya itu mengatakan perempuan tak laik jadi pilot. "Kamu itu perempuan, cocoknya di dapur sajalah," ujar Esther, menirukan ucapan si pejabat.

Tak patah semangat, ia langsung mengejar Menteri Perhubungan saat itu yang dijabat Roesmin Noerjadin, untuk meminta peluang agar bisa diikutkan tes. Akhirnya Menteri Noerjadin mengizinkan Esther ikut tes. "Setelah tes, saya lulus. Saya anggap pengalaman tersebut pemberian Tuhan agar karakter saya terbentuk," kata dia.

Usai menerbangkan pesawat N219, Esther Gayatri Saleh mengaku bangga dan terharu. "Puji Tuhan semunya lancar yang pasti kita harus berbangga bahwa pesawat ini semuanya buatan anak bangsa," kata Esther Gayatri Saleh, seperti dikutip dari Antara, Rabu, 16 Agustus 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik Ken Dedes : Antara Ambisi dan Wahyu

Musnahnya Wahhabi dan Bangkitnya Kembali Menjadi Kerajaan Arab Saudi

15 Kewajiban Anak Laki-Laki Terhadap Ibunya